Menurut para ulama dari
kalangan salaf dan khalaf
(belakangan) keberadaan kaum
laki-laki dan para wanita di satu
tempat tidaklah secara otomatis
menjadi haram. Tetapi yang
diharamkan adalah jika terjadi
kondisi yang bertentangan
dengan ajaran agama, seperti
jika para wanitanya
menampakkan aurat, pertemuan
itu untuk kemungkaran atau jika
terjadi khalwat yang diharamkan.
Para ulama menegaskan bahwa
perbuatan ikhtilat yang
diharamkan -yang disebabkan
oleh perbuatan ikhtilat itu
sendiri- adalah jika para lelaki
dan perempuan saling menempel
dan bersentuhan, bukan sekedar
bersama di satu tempat. Hal ini
sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-
Sa'idi r.a., ia berkata, "Ketika Abu
Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi
pernikahan, dia mengundang
Nabi saw. dan para sahabat.
Tidak ada yang membuatkan dan
menghidangkan makanan untuk
mereka kecuali istrinya, Ummu
Usaid". Imam Bukhari membuat
judul untuk hadits ini dengan:
"Bab Perempuan Melayani Kaum
Lelaki dalam Acara Resepsi
Pernikahan."
Al-Qurthubi berkata dalam kitab
tafsirnya, "Para ulama kami
(madzhab Maliki) berkata, "Hadits
ini menunjukkan kebolehan
seorang istri melayani suami dan
para undangan dalam acara
resepsi pernikahannya".
Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu
Baththal berkata, "Hadits ini
menunjukkan bahwa pembatas
yang menghalangi para lelaki
dengan para wanita untuk
berinteraksi langsung adalah
tidak wajib. Hal itu hanya khusus
bagi para istri Nabi saw.. Hal ini
seperti yang disebutkan oleh
Allah dalam Alquran,
"Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-
istri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir." (Al-Ahzâb [33 ]:
53).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata
dalam Fathul Bâri, "Hadits ini
mengandung penjelasan tentang
kebolehan seorang perempuan
melayani suaminya dan tamu
undangannya. Tentu saja
kebolehan itu jika tidak
dikhawatirkan akan terjadi fitnah
dan perempuan tersebut
senantiasa menutup auratnya.
Hadits ini juga menunjukkan
kebolehan bagi seorang suami
untuk meminta istrinya
memberikan pelayanan seperti
itu".
Dalam kitab Shahîh Bukhari dan
Muslim, Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan kisah Abu Thalhah
al-Anshari dan istrinya yang
melayani tamu mereka. Dalam
kisah itu disebutkan bahwa
keduanya berpura-pura makan di
hadapan tamu mereka, padahal
mereka tidak makan sama sekali,
sehingga mereka berdua pun
tidur dengan perut kosong tanpa
makan malam terlebih dahulu.
Dalam riwayat Ibnu Abi Dunya -
sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab Qirâ adh-Dhayf-- dari
Anas r.a. bahwa seorang sahabat
Nabi saw. berkata kepada
istrinya, "Buatlah roti ini menjadi
tsarid (makanan yang terbuat
dari roti yang diremuk lalu
direndam dengan kuah dan
daging) dan tambahkanlah
mentega sebagai lauknya lalu
hidangkanlah kepada tamu kita.
Suruhlah pembantu untuk
mematikan lampu." Kemudian
ketika menemani tamu mereka
makan, keduanya menggerakkan
mulut mereka seperti sedang
makan, sehingga tamu mereka
mengira bahwa keduanya juga
ikut makan." Zahir (makna
eksplisit) kisah ini
mengisyaratkan bahwa mereka
makan dalam satu nampan. Pada
pagi harinya mereka menemui
Nabi saw., lalu beliau bersabda
kepada mereka,
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا
اللَّيْلَةَ
"Allah takjub dengan perilaku
kalian terhadap tamu kalian tadi
malam."
Allah pun menurunkan ayat yang
berkaitan dengan kisah mereka,
"Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan." (Al-Hasyr [59 ]:
9).
Dalam Shahîh Bukhari
diriwayatkan dari Abu Juhaifah
r.a., ia berkata, "Nabi saw.
mempersaudarakan antara
Salman dan Abu Darda`. Pada
suatu hari, Salman berkunjung ke
rumah Abu Darda`. Ia bertemu
dengan Ummu Darda` yang
ketika itu memakai pakaian yang
lusuh. Salman lalu bertanya
kepadanya, "Apa yang terjadi
denganmu?" Ia menjawab,
"Saudaramu, Abu Darda`, tidak
lagi memikirkan dunia." Sebentar
kemudian Abu Darda` muncul
dan membuatkan Salman
makanan."
Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul
Bâri berkata, "Di dalam hadits ini
terdapat beberapa faedah...
[Antara lain] kebolehan berbicara
dan bertanya kepada wanita
yang bukan mahram tentang
sesuatu yang mendatangkan
maslahat."
Adapun berkaitan dengan para
perempuan yang belajar ilmu-
ilmu syariat dan mendengarkan
pengajian dari kaum lelaki, maka
terdapat hadits yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim
dari Abu Said al-Khudri r.a., ia
berkata, "Pada suatu ketika kaum
wanita berkata kepada Rasulullah
saw., "Para kaum lelaki
memonopoli dirimu dari kami.
Oleh karena berilah kami satu
hari saja untuk bersamamu."
Maka beliau menjanjikan satu
hari kepada mereka untuk
bertemu dan menyampaikan
pelajaran kepada mereka."
Dalam riwayat Nasa`i dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah r.a.
disebutkan bahwa Nabi saw.
berkata kepada perempuan-
perempuan itu,
مَوْعِدُكُنَّ بَيْتُ فُلاَنَةَ
"Tempat pertemuan dengan
kalian adalah di rumah si
fulanah."
Dahulu, para wanita muslimah
selalu berpartisipasi dengan
kaum lelaki dalam berbagai
aktifitas kehidupan sosial dengan
senantiasa menjaga cara
berpakaian dan adab-adab islami.
Bahkan, ada di antara para
wanita sahabat Nabi saw. yang
menjadi penanggung jawab
hisbah (polisi syariat). Hal ini
seperti yang diriwayatkan oleh
ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-
Kabîr -dengan sanad yang terdiri
dari para perawi tsiqât- dari Abu
Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia
berkata, "Saya melihat Samra`
binti Nuhaik -seorang
perempuan yang pernah
bertemu dengan Nabi saw.-
memakai pakaian perang dan
kerudung yang kasar serta
memegang sebuah cambuk. Ia
bertugas menertibkan
masyarakat serta melakukan
amar makruf dan nahi mungkar."
Dengan demikian, tidak ada
seorang pun yang berhak
mengingkari kenyataan yang
disebutkan oleh Sunnah
Nabawiyah dan dan tercatat
dalam sejarah Islam di atas.
Kebiasaan atau adat masyarakat
di suatu tempat dan waktu
tertentu tidak dapat dijadikan
standar bagi kebenaran agama
dan syariat. Ajaran agama berada
pada tingkat tertinggi dan tidak
ada yang dapat melampauinya.
Jika ada seseorang yang ingin
memilih bersikap wara' dengan
lebih berhati-hati, maka ia tidak
boleh memaksa orang lain untuk
mengikutinya, atau bersikap
keras dan mempersempit urusan
yang dimudahkan dan
dilapangkan oleh Allah. Dengan
demikian apa yang disampaikan
dalam pertanyaan adalah tidak
apa-apa dan tidak diharamkan.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ
a'lam.