Rabu, 19 Januari 2011

menyikapi masalah ikhtilat (campurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat)


Menurut para ulama dari 
kalangan salaf dan khalaf 
(belakangan) keberadaan kaum 
laki-laki dan para wanita di satu 
tempat tidaklah secara otomatis 
menjadi haram. Tetapi yang 
diharamkan adalah jika terjadi 
kondisi yang bertentangan 
dengan ajaran agama, seperti 
jika para wanitanya 
menampakkan aurat, pertemuan 
itu untuk kemungkaran atau jika 
terjadi khalwat yang diharamkan. 



Para ulama menegaskan bahwa 
perbuatan ikhtilat yang 
diharamkan -yang disebabkan 
oleh perbuatan ikhtilat itu 
sendiri- adalah jika para lelaki 
dan perempuan saling menempel 
dan bersentuhan, bukan sekedar 
bersama di satu tempat. Hal ini 
sesuai dengan hadits yang 
diriwayatkan oleh Bukhari dan 
Muslim dari Sahal bin Sa'ad as- 
Sa'idi r.a., ia berkata, "Ketika Abu 
Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi 
pernikahan, dia mengundang 
Nabi saw. dan para sahabat. 
Tidak ada yang membuatkan dan 
menghidangkan makanan untuk 
mereka kecuali istrinya, Ummu 
Usaid". Imam Bukhari membuat 
judul untuk hadits ini dengan: 
"Bab Perempuan Melayani Kaum 
Lelaki dalam Acara Resepsi 
Pernikahan." 


Al-Qurthubi berkata dalam kitab 
tafsirnya, "Para ulama kami 
(madzhab Maliki) berkata, "Hadits 
ini menunjukkan kebolehan 
seorang istri melayani suami dan 
para undangan dalam acara 
resepsi pernikahannya". 


Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu 
Baththal berkata, "Hadits ini 
menunjukkan bahwa pembatas 
yang menghalangi para lelaki 
dengan para wanita untuk 
berinteraksi langsung adalah 
tidak wajib. Hal itu hanya khusus 
bagi para istri Nabi saw.. Hal ini 
seperti yang disebutkan oleh 
Allah dalam Alquran, 


"Apabila kamu meminta sesuatu 
(keperluan) kepada mereka (istri- 
istri Nabi), maka mintalah dari 
belakang tabir." (Al-Ahzâb [33 ]: 
53). 


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata 
dalam Fathul Bâri, "Hadits ini 
mengandung penjelasan tentang 
kebolehan seorang perempuan 
melayani suaminya dan tamu 
undangannya. Tentu saja 
kebolehan itu jika tidak 
dikhawatirkan akan terjadi fitnah 
dan perempuan tersebut 
senantiasa menutup auratnya. 
Hadits ini juga menunjukkan 
kebolehan bagi seorang suami 
untuk meminta istrinya 
memberikan pelayanan seperti 
itu". 


Dalam kitab Shahîh Bukhari dan 
Muslim, Abu Hurairah r.a. 
meriwayatkan kisah Abu Thalhah 
al-Anshari dan istrinya yang 
melayani tamu mereka. Dalam 
kisah itu disebutkan bahwa 
keduanya berpura-pura makan di 
hadapan tamu mereka, padahal 
mereka tidak makan sama sekali, 
sehingga mereka berdua pun 
tidur dengan perut kosong tanpa 
makan malam terlebih dahulu. 


Dalam riwayat Ibnu Abi Dunya - 
sebagaimana yang disebutkan 
dalam kitab Qirâ adh-Dhayf-- dari 
Anas r.a. bahwa seorang sahabat 
Nabi saw. berkata kepada 
istrinya, "Buatlah roti ini menjadi 
tsarid (makanan yang terbuat 
dari roti yang diremuk lalu 
direndam dengan kuah dan 
daging) dan tambahkanlah 
mentega sebagai lauknya lalu 
hidangkanlah kepada tamu kita. 
Suruhlah pembantu untuk 
mematikan lampu." Kemudian 
ketika menemani tamu mereka 
makan, keduanya menggerakkan 
mulut mereka seperti sedang 
makan, sehingga tamu mereka 
mengira bahwa keduanya juga 
ikut makan." Zahir (makna 
eksplisit) kisah ini 
mengisyaratkan bahwa mereka 
makan dalam satu nampan. Pada 
pagi harinya mereka menemui 
Nabi saw., lalu beliau bersabda 
kepada mereka, 


قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا 
اللَّيْلَةَ 


"Allah takjub dengan perilaku 
kalian terhadap tamu kalian tadi 
malam." 


Allah pun menurunkan ayat yang 
berkaitan dengan kisah mereka, 


"Dan mereka mengutamakan 
(orang-orang Muhajirin), atas diri 
mereka sendiri, sekalipun mereka 
dalam kesusahan." (Al-Hasyr [59 ]: 
9). 


Dalam Shahîh Bukhari 
diriwayatkan dari Abu Juhaifah 
r.a., ia berkata, "Nabi saw. 
mempersaudarakan antara 
Salman dan Abu Darda`. Pada 
suatu hari, Salman berkunjung ke 
rumah Abu Darda`. Ia bertemu 
dengan Ummu Darda` yang 
ketika itu memakai pakaian yang 
lusuh. Salman lalu bertanya 
kepadanya, "Apa yang terjadi 
denganmu?" Ia menjawab, 
"Saudaramu, Abu Darda`, tidak 
lagi memikirkan dunia." Sebentar 
kemudian Abu Darda` muncul 
dan membuatkan Salman 
makanan." 


Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul 
Bâri berkata, "Di dalam hadits ini 
terdapat beberapa faedah... 
[Antara lain] kebolehan berbicara 
dan bertanya kepada wanita 
yang bukan mahram tentang 
sesuatu yang mendatangkan 
maslahat." 


Adapun berkaitan dengan para 
perempuan yang belajar ilmu- 
ilmu syariat dan mendengarkan 
pengajian dari kaum lelaki, maka 
terdapat hadits yang 
diriwayatkan Bukhari dan Muslim 
dari Abu Said al-Khudri r.a., ia 
berkata, "Pada suatu ketika kaum 
wanita berkata kepada Rasulullah 
saw., "Para kaum lelaki 
memonopoli dirimu dari kami. 
Oleh karena berilah kami satu 
hari saja untuk bersamamu." 
Maka beliau menjanjikan satu 
hari kepada mereka untuk 
bertemu dan menyampaikan 
pelajaran kepada mereka." 


Dalam riwayat Nasa`i dan Ibnu 
Hibban dari Abu Hurairah r.a. 
disebutkan bahwa Nabi saw. 
berkata kepada perempuan- 
perempuan itu, 


مَوْعِدُكُنَّ بَيْتُ فُلاَنَةَ 


"Tempat pertemuan dengan 
kalian adalah di rumah si 
fulanah." 


Dahulu, para wanita muslimah 
selalu berpartisipasi dengan 
kaum lelaki dalam berbagai 
aktifitas kehidupan sosial dengan 
senantiasa menjaga cara 
berpakaian dan adab-adab islami. 
Bahkan, ada di antara para 
wanita sahabat Nabi saw. yang 
menjadi penanggung jawab 
hisbah (polisi syariat). Hal ini 
seperti yang diriwayatkan oleh 
ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al- 
Kabîr -dengan sanad yang terdiri 
dari para perawi tsiqât- dari Abu 
Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia 
berkata, "Saya melihat Samra` 
binti Nuhaik -seorang 
perempuan yang pernah 
bertemu dengan Nabi saw.- 
memakai pakaian perang dan 
kerudung yang kasar serta 
memegang sebuah cambuk. Ia 
bertugas menertibkan 
masyarakat serta melakukan 
amar makruf dan nahi mungkar." 


Dengan demikian, tidak ada 
seorang pun yang berhak 
mengingkari kenyataan yang 
disebutkan oleh Sunnah 
Nabawiyah dan dan tercatat 
dalam sejarah Islam di atas. 
Kebiasaan atau adat masyarakat 
di suatu tempat dan waktu 
tertentu tidak dapat dijadikan 
standar bagi kebenaran agama 
dan syariat. Ajaran agama berada 
pada tingkat tertinggi dan tidak 
ada yang dapat melampauinya. 
Jika ada seseorang yang ingin 
memilih bersikap wara' dengan 
lebih berhati-hati, maka ia tidak 
boleh memaksa orang lain untuk 
mengikutinya, atau bersikap 
keras dan mempersempit urusan 
yang dimudahkan dan 
dilapangkan oleh Allah. Dengan 
demikian apa yang disampaikan 
dalam pertanyaan adalah tidak 
apa-apa dan tidak diharamkan. 


Wallahu subhânahu wa ta'âlâ 
a'lam.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar