Kamis, 03 Februari 2011

kupas tuntas masalah TABARRUK

Definisi Tabarruk: Dari sisi bahasa, kata ‘tabarruk’ berarti “mencari berkah” (lihat: kitab Lisan al-Arab jilid 10 halaman 390, kitab Shihah al-Lughah jilid 4 halaman 1075 dan kitab an-Nihayah jilid 1 halaman 120). Dengan begitu, sewaktu dikatakan bahwa “mencari berkah terhadap sesuatu” berarti “keinginan mengambil berkah dari sesuatu tadi”. Atas dasar itulah maka definisi tabarruk dari sisi istilah adalah; “Mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah swt telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya”.


Salah satu dari kejelasan ajaran agama (Dharuriyaat ad-Diin) yang menjadi kesepakatan segenap kelompok muslim adalah berkaitan dengan pengkhususan peribadatan kepada Allah swt. Hal ini termasuk dari asas-asas dasar agama. Islam tidak memperkenankan pengikutnya untuk menyembah selain Allah swt. Ini adalah esensi dasar (ushuluddin) ajaran agama para nabi dan rasul terdahulu, terkhusus agama Muhammad saw yang bernama Islam. Islam tidak mengizinkan penyembahan terhadap Malaikat, nabi ataupun rasul, apalagi berhala. Islam akan menghukumi pelaku peribadatan selain Allah swt tersebut sebagai kafir yang musyrik. Ini tiada seorangpun dari kaum muslimin yang memahami Islam yang meragukannya. Bagaimana tidak, sedang ia setiap sehari mengulang-ngulang kata: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in).

Salah satu hal yang dinyatakan syirik oleh kelompok dan aliran Wahaby (salafy) adalah pengambilan berkah (tabarruk) dari sesuatu yang dianggap sakral. Dengan tuduhan itu mereka dengan seenaknya lantas menyerang kaum muslim sebagai pelaku bid’ah ataupun syirik. Dalam berbagai kesempatan ulama mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyebutkan seperti apa yang telah disebutkan tadi, vonis ahli bid’ah dan syirik. Pada kesempatan ini, kita akan lihat beberapa contoh fatwa mereka:

1- Bin Baz (Abdul Aziz) dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4 halaman 29 menatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari berkah (tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak ada asalnya) dalam syariat Islam”.

Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbatan semacam itu (mencari berkah) merupakan perbuatan bid’ah.

2- Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366 menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari .red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam kitab “Dalil al-Akhtha’” halaman 107 disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”.

Inilah fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi. Faham Wahaby atau yang menjelma sekarang ini dengan nama Salafi atau Salafy, oleh sebagian ulama Islam dibahasakan dengan nama Salafi Palsu atau Salafi Gadungan.

3- Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah” halaman 28-29 menyatakan: “Tabarruk mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan ini harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Ia Yang mempu menurunkan dan menetapkannya. Tiada satu makhlukpun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah ataupun mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak diperbolehkan mengambil berkah dari tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.

Jika tadi Bin Baz dan Bin Utsaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah maka sekarang Bin Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama Wahaby sebelumnya tadi. Ia telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah Tergolong Musyrik”. Mari kita lanjutkan penelitian dari kajian kita ke contoh terakhir dari fatwa mereka (kaum Wahabi yang berkedok Salafi).

4- Gerombolan ulama Wahhaby yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat terhadap masjid ini dengan mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan bid’ah dan juga masuk dari salah satu jenis syirik. Perbuatan ini sama dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.

Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa ‘tabarruk’ merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.

Tentu sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi sarana Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.

Setelah kita mengetahui fatwa-fatwa ‘pengkafiran’ ulama Wahaby (tuduhan bid’ah dan syirik) berkaitan dengan kaum muslimin yang melaksanakan pencarian berkah (tabarruk) pada seseorang, tempat, waktu dan sesuatu yang diangap sacral, maka sekarang kita akan melihat terminology tabarruk dalam al-Quran, sebelum kita jauh melangkah ke depan.

Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran

Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah swt adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia menciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak tergantung keada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya. Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.

Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya (yang pada kesempatan lain insya-Allah akan kita bahas nantinya), secara mendasar dan murni (esensial) “berkah” dan “pemberian berkah” hanya berasal, milik dan hak priogresif Allah swt semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah swt telah memberkati seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang diberkati tersebut:

1- Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud: 48).

2- Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa Telah diberkati orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya…” (QS an-Naml: 8).

3- Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).

4- Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).

Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:

5- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).

6- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).

7- Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).

Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:

8- Allah swt telah memberikan berkah kepada al-Quran: “Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).

9- Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)…” (QS an-Nur: 35).

10- Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).

11- Allah swt telah memberkati malam dimana al-Quran turun (lailatul Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).

Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt dalam al-Quran menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:

12- Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisakan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap tabut (peti .red) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.

‘Peti’ itu adalah peti dimana Musa kecil telah diletakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga ditemukan oleh istri Firaun, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka Allah swt menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit. Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda. Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ke tengah-tengah mereka. Lantas Allah swt mengutus Tholut. Melalui dialah para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.

Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi “dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun” berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).

Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt mengujimereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Yakqub as terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Yakqub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf, pun akhirnya pulih penglihatanya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat ‘barakah’ yang dicurahkan oleh Allah swt kepada baju Yusuf. Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (doa). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 2 halaman 503).

Tentu sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi ‘sarana’ Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.

Jika para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lantas bagaimana dengan benda (spt: mihrab dan mimbar), tempat (spt: rumah, masjid dan makam), waktu (spt: peringatan hari kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj dan wafat) dan mengenang keutamaan (melalui bacaan Maulid Diba’ atau Barzanji) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw, penghulu para nabi dan rasul, makhluk Allah yang paling sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis shohih?

Para sahabat mulia nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan lain sebagainya. Imam al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bertabaruk kepada pribadi mulia dan pemilik keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?

Setelah kita mengenal konsep ‘Tabarruk’ versi al-Quran yang menyatakan bahwa sebagian nabi mengizinkan atau bahkan melakukan “pengambilan berkah” (tabarruk) dari ‘sesuatu’ selain Allah swt dan tergolong hasil ciptaan Allah, dimana tentu kaum Wahaby tidak akan pernah berani menvonis orang mulia seperti Nabi Yakqub sebagai pelaku syirik karena telah melakukan pencarian berkah dari baju Nabi Yusuf. Sekarang, giliran kita akan melanjutkan kajian kita kepada masalah; “Tabarruk dari tinjauan hadis”. Dalam penjelasan edisi ini, kita akan buktikan bawa ternyata para Salaf Saleh (Sahabat Nabi) telah melakukan perbuatan yang versi Wahaby tergolong perbuatan Syirik atau Bid’ah, mencari berkah.

Berkah dan Tabarruk dalam as-Sunnah

Penyebab kelompok Salafy mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy adalah karena ‘konon’ mereka ingin menegakkan ajaran Salaf Saleh yang selama ini tidak diindahkan lagi oleh umat Muhammad, padahal ajaran Salaf Saleh pasti benar dan harus selalu ditegakkan. Di sini, kita akan sebutkan bukti-bukti bahwa para Salaf Saleh telah melakukan ‘tabarruk’ (pencarian berkah) yang dikategorikan perbuatan syirik dan bidah oleh kelompok Salafy, yang pada hakekatnya Wahaby itu.

Agar kajian kita lebih terfokus maka kita bagi kajian hadis kita kali ini pada beberapa pembagian berikut:

- Pertama: Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.

- Kedua: Tabarruk para Sahabat dan para Tabi’in (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.

- Ketiga: Tabarruk kaum muslimin terhadap peninggalan para pendahulu dari para nabi, sahabat Nabi, tabi’in dan para kekasih Ilahi (Waliyullah).

Untuk itu, marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menjadi argumen kita serta mengadakan sedikit analisa dari beberapa sisinya:

I- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.

Di sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat sebagai bukti bahwa para sahabat mulia Nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan lain sebagainya.

Imam al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf waw, bagian pertama, bab waw kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah dihukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: “Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang lantas beliau doakan”.

a- Tabarruk para sahabat untuk para bayi mereka:

1- Dari ummu Qais: “Suatu saat beliau mendatangi Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Lantas Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di pakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak mencucinya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 62 kitab al-Ghasl, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am, Kitab as-Sunan at-Turmudzi jilid 1 halaman 104, Kitab as-Sunan Abu Dawud jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub dan Kitab as-Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 174).

Ibnu Hajar berkata: “Dari hadis ini memberikan beberapa pengertian; Penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Lihat Kitab Fathul-Bari jilid 1 halaman 326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadis ke-223).

2- Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“ (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadis ke-223).

3- Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk didoakan” (Lihat: Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 halaman 479 dan Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 halaman 5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).

4- Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan didoakannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada” (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).

b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:

“Sewaktu Rasulullah datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuk dadanya. Kemudian Zuhair marasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Lantas ia berkata: Aku lantas mengusapkan pungungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadis ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 halaman: 267).

c- Tabarruk sahabat dari rambut Rasulullah saw:

1- Dari Anas, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang dipangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuninya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan di salah satu tangan mereka” (Lihat: Kitab Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 halaman 83, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 591, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 halaman 68, Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadis ke-11955).

2- Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lantas beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Lantas ia (Abdulah bin Zaid) berkata: Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau.” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 halaman 630 hadis ke-16039, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 68 dan Kitab Majma’ az-Zawa’id jilid 4 halaman 19).

3- Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperangan .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahirrahmanirrahim” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadis-30136).

d- Tabarruk sahabat dari keringat Rasulullah saw:

1- Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan tikar kulit untuk Nabi, lantas beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, lantas ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).

Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang sahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Lantas ia meletakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).

e- Tabarruk sahabat dari air wudhu Rasulullah saw:

1- Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Lantas orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada di tangan temannya”.

Dalam lafad itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lantas beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadis ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).

2- Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya-: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadis ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).

Ibnu Hajar dalam mensyarahi hadis tersebut menyatakan: “Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat lainnya” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).

Sebagaimana banyak dari para perawi dan penghapal hadis yang meriwayatkan kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi, ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya-; “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada salembar rambutpun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadis panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).

3- Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur ‘Badho’ah’ kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: “Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah”, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).

4- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Lantas Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuhlah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60 / jilid 7 halaman 150 / jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).

5- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi berwudhu pada sebuah baskom, lantas (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadis ke-35472).

6- Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasul mengambil air pada sebuah tempat. Lantas beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Lantas beliau bersabda: Minumlah kalian berdua dari (air) itu. Dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).

Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air- adalah untuk memberikan berkah kepadanya (air)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).

7- Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasul): Kenapa kamu melakukan hal itu? Ia berkata: Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikitpun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 575 hadis ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 109).

Semua riwayat di atas tadi membuktikan bahwa dalam sejarah telah terbukti bahwa para sahabat mulia Rasul telah melakukan tabarruk pada masa kehidupan beliau. Sebenarnya masih banyak riwayat-riwayat lain lagi yang bisa kita sebutkan di sini. Namun untuk mempersingkat, maka kami hanya menyebutkan riwayat-riwayat tadi saja, sebagai argumen pertama, Tabarruk para sahabat mulia Rasul pada masa kehidupan Nabi. Kami tidak tahu, apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bertabarruk dari pribadi mulia dan pemilik keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?

Pembahasan kita selanjutnya adalah menyebutkan beberapa riwayat yang membuktikan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.

Jika rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf Saleh mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah Salaf Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus dijawab oleh kaum Wahabi.

Setelah kita sebutkan beberapa contoh hadis-hadis yang berkaitan dengan tabarruk para sahabat terhadap diri Rasul pada masa hidup beliau, kini kita akan memasuki sesi kedua yang membahas tentang;

II- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasulullah SAW, pasca wafat beliau.

Imam al-Bukhari dalam kitab shahih beliau menuliskan satu bab khusus tentang “Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)

Adapun mengenai hadis-hadis yang membuktikan bahwa para Sahabat yang -tergolong Salaf Saleh- telah melakukan tabarruk terhadap barang-barang peningalan Rasul pasca wafat beliau, seperti:

A- Tabarruk para Sahabat dari rambut Nabi:

1- Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari- dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 207).

2- Sewaktu Muawiyah akan mati, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)

3- Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406 tentang (tarjamah) Umar bin Abdul Aziz).

4- Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang (tarjamah) Anas bin Malik)

5- Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Lantas Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya diletakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).

6- Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: Aku berkata kepada Ubaidah: “Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas”. Lantas ia bekata: “Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).

7- Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Darimana engkau mendapatkan rambut itu?”. Ia berkata: “Sesungguhnya sewaktu Rasul mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Lantas kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya” (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).

Jika rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf Saleh mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah Salaf Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus dijawab oleh kaum Wahabi.

B- Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi:

1- Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadis, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lantas beliau bersabda: “Berilah kami minum, wahai Sahal!”. Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya”. (Lantas perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: “Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bikhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyrabah, Kitab Shohih al-Muslim jilid 6 halaman 103 dalam bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).

2- Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: Aku melihat gelas itu dan minum menggunakan gelas tersebut” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).

3- Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: Engkau akan kuberi minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).

4- Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Lantas beliau memberikannya kepadanya”.

Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).

Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasul dengan gelas bekas bibir Rasul sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong Salaf Saleh merebutkannya? Apakah perbatan ini tidak tergolong melebih-lebihkan Rasul yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Apakah kaum Wahaby berani menyatakan bahwa perbuatan tercela (versi Wahabi) itu juga diajarkan oleh para sahabat yang tergolong Salaf Saleh? Mereka harus konsisten dengan ajaran Wahabismenya dengan menyatakan bahwa perbatan itu adalah syirik, yang meniscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.

C- Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi:

1- Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Lantas Rasul menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan perasaan takut. Lantas kutanyakan: Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas tanganmu? Lantas beliau menjawab: Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka menjauhinya). Adapun kalian, makanlah darinya…”. (Lihat: Kitab al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 halaman 201, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 halaman 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 halaman 510)

2- Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang tergantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Lantas Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadis ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)

3- Dari Ummu ‘Amir –nama aslinya Fakihah atau Asma’- binti Yazid bin as-Sakan, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah melaksanakan shalat maghrib di masjid kami. Lantas aku pergi ke rumahku dan membawakan daging dan roti. Lantas kukatakan: Makanlah!? Lantas beliau bersabda kepada para sahabatnya: Silahkan makan!? Akhirnya beliau bersama para sahabat beliau yang datang makan bersama…lantas kukatakan: ????” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 4 halaman 471 pada huruf ‘Ain di bagian pertama, berkaitan dengan (tarjamah) Ummu ‘Amir pada nomer 1374 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 234).

4- Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Lantas beliau meminum darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan lantas kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243).

Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh kaum Wahaby, bahwa apakah perbuatan semacam itu (tabarruk dari peninggalan Rasul) tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Saleh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah kaum Wahabi menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran Salafy (yang pada hakekatnya Wahaby itu) hendak menumbuhkan dan menyebarkan ajaran Salaf Saleh? Salaf Saleh yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya, padahal segenap Salaf Saleh membolehkan tabarruk –yang dinyatakan syirik oleh kaum Wahaby- itu?

Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).

Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syariat Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul, pasca wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadis-hadis di bawah ini:

D- Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi:

1- Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: “Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!”. Lantas kusiram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman. Lantas beliau memberikannya kepadaku. Lantas berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)

Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).

2- Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: “Itu adalah sandal Rasul”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)

Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.

3- Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hambal 4/357 hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).

Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?

Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadis saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke teks aslinya.

Dalam beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis seperti yang membahasa tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasul (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6), para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasul dengan meniru bentuknya (Lihat: Shahih Bukhari 7/55, Shohih Muslim 3/1656, an-Nasa’i 8/196, Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadis ke-472), para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Lihat: Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16, Sunan Ibnu Majah 2/1177 dan Musnad Ahmad bin Hambal 6/456 hadis ke-22318, Fathul Bari 3/144 tentang hadis 1277), Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412, as-Sirah al-Halabiyah 3/242 dan Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Lihat: Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur, Shohih Muslim 2/647, Musnad Ahmad 7/556 hadis ke-26752, Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadis ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa kita dapati pada edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.

E- Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi:

1- Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu”. Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu. Lantas kutanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’). (Lihat: Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)

Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut As-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi.” Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).

Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?

2- Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi (untuk berteduh) pun disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2/269 hadis ke-5968, Shohih Bukhari 3/140, Shohih Muslim 2/1981)

Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?

3- Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku denga tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku.” Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar. Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445, 61 dan 62).

Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru’ hal: 68-69” berargumen dengan hadis Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas (hadis ketiga) untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dia dalam kitab itu menyatakan: “Hal itu (sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti menunjukkan bahwa Atban hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang pernah dibuat shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar) kepada Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk melakukan shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di saat itu ia hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang Rasul. Atas dasar itu akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan hadis semacam ini dengan sebutan: “Bab Masjid-Masjid di Rumah” (Babul Masajid fil Bayt). Dan sebagaimana yang dilakukan oleh al-Barra’ bin ‘Azib yang melakukan shalat di masjid yang berada di rumahnya –ini adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah, Rasul telah mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika sewaktu terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang bernama al-Barra’ bin ‘Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya sedang (Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya Rasul (tasyri’). Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan arah kiblat yang benar, karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan jika ia melaksanakan shalat menghadap bukan ke arah kiblat”. Ini adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadis di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

1- Tidak diragukan lagi bahwa sahabat Atban menginginkan untuk melaksankan shalat berjamaah di rumahnya. Ini adalah salah satu sebab dari kemunculan hadis tersebut. Akan tetapi bukan sebab satu-satunya, sebab keinginannya untuk bertabarruk kepada Rasulpun secara jelas nampak dalam teks hadis tersebut. Dan Nabi pun memahami apa yang diinginkan oleh Atban. Oleh karenanya beliau lantas menanyakan kepada Atban tentang tempat dalam rumahnya yang diinginkannya untuk dilakukan shalat oleh Rasul. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasul langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanyakan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.

2- Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasul ke rumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasul lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasul, apalagi lantas dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasul. Dan dikarenakan Rasul hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagaimana teks hadis) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasul adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasul hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar saja lantas buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.

3- Kami tidak yakin intelektual orang seperti al-Ulyani lebih bagus dari pribadi seperti al-Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani, termasuk dalam memahami hadis di atas tadi. dan kita tahu bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam syarah Shohih Bukharinya yang berjudul “Fathul Bari” dengan pernyataannya sebagai berikut:

A- “Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)

B- “Dalam hadis ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat di rumahnya dan Nabipun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)

Hadis-hadis semacam itu (Hadis ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab terkemuka lain. Untuk mempersingkat, kita akan sebutkan kitab, jilid dan halaman saja untuk dirujuk oleh para pembaca yang budiman.

Jika kita memberi sedikit toleransi terhadap pernyataan al-Ulyani berkaitan dengan hadis ‘Atban, dan memberi secuil kemungkinan kebenaran pada perkiraannya karena belas kasihan kita, maka bagaimana pendapat al-Ulyani dengan hadis-hadis lain yang secara jelas menyatakan keinginan para sahabat untuk bertabarruk kepada Rasul? Sebagai contoh, seperti hadis Ummu Sulaim dan beberapa sahabat lain yang dapat kita temui hadis tersebut dalam kitab; Sunan an-Nasa’i 1/268, kitab al-Masajid, bab 43 shalat ‘alal hashir hadis ke-816, atau dalam kitab Sunan Ibnu Majah 1/249 kitab al-Masajid, bab alMasajid fid Daur hadis ke-756, atau kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3/586 hadis ke 11920 cetakan Muassasah at-Tarikh al-Arabi dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/130 terdapat dua sanad yang berbeda, atau lihat kitab Musnad Anas bin Malik hadis ke-11920. dengan jelas hadis Ummu Sulaim tadi menyatakan bahwa ia ingin bertabarruk dari Rasulullah saw, tidak seperti hadis ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani.

Sebagian Wahaby berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga dan dapat dikenali oleh banyak orang. Di bilangan bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat mulai beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jamaah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentunya.

oleh : marhadi muhayar Lc.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar