Ibrahim bin Adham adalah ulama shufi yang dikenal zuhud. Pada mulanya, beliau adalah anak seorang raja. Suatu ketika beliau ditanya oleh muridnya, Syaqiq al-Balkhi, tentang awal pengembaraan spiritualnya. Syaqiq bertanya: "Guru, bagaimana awal mula perjalanan spiritual Anda sehingga mencapai maqam kezuhudan ini, dan meninggalkan kemilau kehidupan duniawi, padahal Anda anak seorang raja?"
Ibrahim bin Adham menjawab: "Suatu ketika aku berjalan di tengah padang pasir. Di tengah padang pasir itu aku menemukan seekor burung yang kedua sayapnya patah. Ia tidak bisa terbang untuk mencari makan. Akan tetapi anehnya, ia mampu bertahan hidup. Akhirnya aku berpikir. Burung yang kedua sayapnya patah ini, makannya dari mana?"
Pada saat aku berpikir demikian, tiba-tiba ada seekor burung terbang datang menghampirinya. Di mulutnya mengapit seekor belalang. Lalu belalang tersebut, ia taruh di kaki burung yang tidak berdaya itu. Kemudian, burung yang telah patah kedua sayapnya itu pun makan belalang tersesbut. Dari kejadian itu aku mengambil pelajaran, tentang kehidupan. Aku tinggalkan semua harta benda dan kekayaan duniawi. dan aku konsentrasi beribadah kepada Allah."
Ibrahim bin Adham berkata kepada Syaqiq al-Balkhi, "Mengapa Anda tidak berusaha menjadi pemberi makan orang-orang yang tidak berdaya? Sehingga Anda akan menjadi lebih utama dari pada mereka. Apakah Anda tidak mendengar sabda Nabi SAW: "Tangan yang di atas (pemberi), lebih baik dari pada tangan yang di bawah (penerima pemberian orang)". Di antara tanda-tanda seorang Mukmin adalah mencari derajat yang lebih tinggi di antara dua derajat yang ada dalam segala urusan, sehingga mencapai pada derajat orang-orang yang berbakti kepada Allah (al-abrar)".
Mendengar nasehat tersesbut, Syaqiq al-Balkhi terharu dan sambil mencium tangan sang guru, ia berkata: "Engkau benar-benar guru kami."
Wallahu a'lam.
oleh: ustadz idrus romli