Kamis, 03 Februari 2011

fleksibilitas syariat

Kehidupan dan perputaran roda dunia yang tidak lepas dari kubangan ruang dan waktu menuntut semua sunah Allah swt. yang berjalan di muka bumi ini dikondisikan dan diselaraskan dengan style setting zaman, tempat dan waktu. Disamping itu, setting objek juga sangat berakses pada gaya hidup zaman tersebut.
Sebagai agama penerus yang telah dibumikan dan diformulasikan oleh Nabi Adam as. Islam juga tidak lepas melakukan transformasi dan adaptasi terhadap setting realitas sosial di zamannya sehingga berimplikasi pada perbedaan syari’at yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, sebagai contoh, syari’at Musawiyyah lebih berat daripada syari’at Isawiyyah, syari’at Muhammadiyyah juga tidak lepas diselaraskan dengan realitas sosial umatnya yang ummi dan kurang mengenal peradaban dibanding umat lain disekitarnya pada saat itu, dan lemahnya umat Muhammad Saw. dibanding umat-umat nabi terdahulu.





Dari prolog tersebut penulis mencoba menyelidik dan menelisik apakah Islam terkontaminasi atau tercemari oleh realitas sosial? atau bahkan terinfeksi virus-virus taqâlid jahiliyyah atau realitas sosial waktu itu? Syari’at yang terkontaminasi apakah masih merupakan syari’at yang steril, original dan relevan? Apakah realitas sosial yang terjadi di zaman Nabi Muhammad mempengaruhi uslub dan bahasa al-Qur’an dan al-Sunnah?
Disadari atau tidak, mendapat legalitas atau tidak, syari’at Islam dalam tatanannya dinyatakan steril dari kontaminasi realitas sosial setempat. Hanya saja dalam aplikasinya ada beberapa syari’at yang terkena efek realitas setempat seperti hasil ijtihad dan fatwa para jurism yang ditendensikan pada ‘urf, mashlahah dan dlarurat. Hal ini bukan efek realitas sosial yang mengkontaminasi syari’at. Namun, hanya merupakan fleksibelitas syari’at. Fleksibelitas adalah hal yang urgen, keniscayaan dan rasional karena al-Qur’an dan al-Sunnah eksistensinya tidak berjalan di tempat atau relevan pada zaman dan area tertentu saja, atau bahkan mengenal istilah jumud dan mandul dalam merealisasikan fungsinya sebagai motor penghasil hukum yang diistinbath dari keduanya. Realitas ini sesuai dengan jargon ”syari’at Islam adalah syari’at yang shâlih fî kulli al-zamân wa al-makân”.
Sebagaimana paparan para jurism bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang layak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak mengenal istilah batas ruang, tempat dan waktu. Bahkan, mampu menembus batas sehingga sejak zaman para mujtahid dahulu, produk ijtihadnya mampu menjawab realitas yang terjadi pada saat itu dan realitas yang bakal datang, hal itu bisa kita lihat dari perbedaan karakter fiqh produk ijtihad para shahabat dan tabi’in. Para shahabat dalam fiqhnya terkenal dengan fiqh realitas (fiqh waqî’iyyah) sementara fiqh yang diusung oleh para mujtahid tabi’in dan kebawahnya merupakan fiqh imajinatif (fiqh iftirâdli).
Sebagai contoh lain, syari’at mengenal istilah konsep nasakh-mansûkh yang diusung oleh mayoritas ulama. Teori ini merupakan prinsip tadarruj, praktek ini juga merupakan fleksibelitas syari’at yang diserasikan dengan realitas sosial setempat pada waktu itu yang menuntut amandemen hukum lama dengan hukum baru. Keharaman khamr yang pada awal Islam merupakan sesuatu yang masih mengandung kemanfaatan, tetapi pada finalnya Allah Swt. berfirman tentang keharaman dan kenajisan khamr, juga merupakan salah satu contoh bangunan syari’at diselaraskan dengan realitas zaman dan waktu masyarakat saat itu.
Bagitu pula hadits Nabi yang menerangkan tentang tanda-tanda kiamat (asyrâth al-sâ’at) dan standarisasi ukuran syari’at yaitu wazn ahl makkah dan kail ahl madinah. Panorama serupa jika kita saksikan dengan perbedaan al-Syafi’i dalam qaul qadîm dan jadîd-nya. Begitu juga pro dan kontra ulama periode awal dengan periode tengah dan akhir. Semuanya merupakan potret dokumen fleksibelitas syari’at Islam dan bukan syari’at Islam telah terkontaminasi oleh realitas sosial, konter ini juga dilakukan oleh al-Bouthi dalam fiqh al-sîrah al-nabawiyyah bahwa Islam adalah agama yang murni dari Allah tidak terkontaminasi dan mengadopsi ajaran atau taqâlid Yahudi atau Nashrani yang pada saat itu sudah mengalami tahrîf. Dari sini sterilitas al-Qur’an dan al-Sunnah dari kontaminasi realitas sosial tidak diragukan lagi.
Ketika Islam merupakan doktrin yang terinfeksi atau tercemari oleh realitas sosial dalam bentuk solusi dan hukum-hukumnya, maka Islam sama juga dengan agama yang dihasilkan dari produk budaya yang harus selalu berubah sesuai dengan tuntutan dan keadaan dimana Islam berada dan hidup. Lantas, tidak sampai di situ kefatalan yang terjadi, rumusan jurism yang mengklasifikasikan doktrin Islam dalam tsawâbit dan mutaghayyir merupakan hal yang absurd dan berimplikasi pada kerapuhan bangunan Islam dan ketidakkonsistenannya dalam memandang kasus dan realitas.
Uslub al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan uslub yang tidak tertandingi oleh siapapun pada zamannya hingga sekarang dan yang akan datang, namun ketika kita menelisik lafal-lafalnya atau uslub kalamnya, maka itu merupakan bahasa arab yang disesuaikan juga dengan realitas saat itu yang spontanitas tidak sama dengan bahasa arab di zaman sekarang yang sudah mengalami perkembangan dan serapan dari bahasa-bahasa asing. Terbukti dalam al-Qur’an hanya menyebutkan nama-nama (asmâ`) yang ada disekitar Jazirah Arab saja seperti; unta, gunung, batu dan lainnya. Hal ini merupakan indikasi adanya penyesuaian nash dengan keadaan dan tempat saat itu di mana al-Qur’an diturunkan. Dan hal ini pula bukan berarti al-Qur’an dan al-Sunnah terinfeksi atau terkontaminasi dengan realitas sosial, namun merupakan fleksibelitas syari’at (murunah al-syari’at) atau penyesuaian uslub al-Qur’an dan al-Sunnah dengan kadar kemampuan umatnya dalam memahami esensi al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari sini juga penulis menolak dengan metode interpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah dengan metode tafsir hermeneutika. Penolakan ini dilandaskan terhadap sterilitas al-Qur’an dan al-Sunnah dari efek realitas sosial yang mana oleh para pengusung manhaj hermeneutika mengatakan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah terkontaminasi oleh realitas sosial yang dalam penginterpretasiannya dan upaya mengurai nashnya harus dengan metode heurmenetika. Wa Allah a’lam.

oleh zaitun putra
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar