Mengungkap Pesan Tersembunyi "TANDA DEMOKRASI MASIH MUDA"
Tidak mudah membangun kesepahaman bersama dalam multi komunitas, banyak rintangan yang akan menghalangi, apalagi perbedaan sebuah keniscayaan hidup, fithrah manusiawi sebagai corak pemikiran akal sehat, hal ini dapat kita pahami dari firman Allah swt. "Walau sya`allahu laja`alakum ummatan wahidah, walakin liyabluakum fima atakum fastabiqul khairat, ilallahi marji`ukum jami`an, fayunabbi`ukum bima kuntum fihi takhtalifun".
Inilah setidaknya sandaran kita menyikapi perbedaan, walaupun sejatinya al Qur`an dalam ayat lain menyebut perintah untuk bersatu dan menghindari perpecahan, "Wa`tashimu bihablillahi jami`an wala tafarraqu", akan tetapi bukan serta merta kita dapat menghindari perbedaan yang sudah pasti mewarnai kehidupan manusia. Melalui kosa kata, "perpecahan" itulah, kemudian muncul harapan baru bagi kita untuk menjalin persatuan, bahkan konon nabiyallah Adam as. dan Siti Hawa setelah dikeluarkan dari surga Allah swt. berada di tempat berbeda, kemudian dipertemukan kembali pada satu waktu di padang Arafat, karena sebab itulah sebagian ulama menafsiri kata arafah sebagai tempat bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa. Keduanya berangkat dari arah yang berbeda, berjenis kelamin beda, tentunya berkarakter beda pula, walaupun pro gender masih terus bersikukuh memimpikan emansipasi wanita, tetapi pribadi saya tetap berkeyakinan, bahwa gerakan yang dihembus angin barat untuk merongrong otoritas gender tersebut tidak akan terwujud, "Walaisaddzakaru kal untsa".
Dari diskrip dasar itu, dapat dimengerti, bahwa perbedaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia untuk mewujudkan persatuan yang haqiqi, tentu akan lucu sekali bila semua makhluk ciptaan Allah berbentuk sama rupa. Secara rasioal, bukan hanya sulit mengidentifikasi fisiknya, terkait siapa anak siapa, tetapi untuk menjalankan aktifitas yang diamanatkan Allah sekalipun, kita akan mengalami kerancuan, betapa tidak, dunia dengan aneka ragam benda yang tampak di sekitar kita, menuntut kreatifitas manusia yang berbeda-beda, ada presiden yang mengatur Negara dibantu aparatur pemerintah, mentri, dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, majlis permusyawaratan rakyat, badan pengawas keuangan, komisi pemberantas korupsi, komisi pemilihan umum, pengadilan, kepolisian, tentara nasional, kiai, ustadz, mahasiswa, pelajar, pedagang, petani, nelayan, dan sekian banyak profesi masyarakat umum lainnya. Bila kehendak setiap orang selalu sama, maka kacaulah dunia ini, siapa yang akan menjadi imam sholat, bila semua kompak menjadi makmum, siapa yang akan mengingatkan yang salah bila semua sudah benar, siapa pula yang akan menjadi juru dakwah bila semua memilih menjadi pendengar, bagaimana mungkin substansi al Qur`an akan terwujud jika perbedaan tidak menjadi kenyataan, "haihata-haihata bainal masyriqi wal maghrib".
Impossible dan irrasional, bila berharap menyatukan persepsi dalam arti yang sejati di dunia ini, kecuali hanya keinginan untuk sekedar merespon fenomena alam dalam bentuk gerakan terorganisir saja yang berlaku temporal, hal itu dapat kita lakukan bersama-sama, selebihnya, "tahsabuhum jami`an waqulubuhum syatta", maka menyadari adanya perbedaan sebagai fithrah manusia, sangat penting sekali diperhatikan, bahkan lebih penting dari sekedar memahami konsep demokrasi yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan keunggulannya. Benar, banyak Negara menjadikan demokrasi sebagai win-win solution dengan mengenalkan trias politika ala J. Lock sebagai pilarnya. Namun demikian, tidak sedikit yang was-was akan keampuhan konsep demokrasi tanpa label lokal, karena itu, demokrasi di Indonesia mengikut sertakan pancasila sebagai ruhnya, lantas disebut demokrasi pancasila, beda halnya dengan Yaman, demokrasi di negeri yang sedang kita tempati ini, memilih mengakomodir makna Syura semaksimal mungkin, sebagaimana firman Allah " Wa amruhum syura bainahum" hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah pusat dalam memberlakukan undang-undang tertentu sesuai pokok-pokok syari`ah Islam untuk dijadikan sumber hukum positive. Terlepas, mana yang lebih unggul secara teori, yang jelas, saya pernah mengamati langsung prosesi peradilan kasus tindak pidana, dan praktiknya secara umum antara Indonesia dan Yaman dapat dikategorikan sejajar (bukan sama persis), dalam proses peradilan kasus pidana tersebut, praktik administrasi yang diberlakukan hampir semuanya menganut ketentuan internasional, mulai dari pra peradilan, pengajuan berkas untuk diregistrasi di panitera pengadilan sesuai tingkatan kasusnya, penyidikan oleh kepolisian, kejaksaan, keterangan saksi, pengambilan sumpah, pembacaan tuntutan, pengajuan eksepsi, pelimpahan kasus pada kuasa hukum, penunjukan pengacara dan pembacaan amar putusan majelis hakim sampai proses penjeblosan ke penjara, perbedaan mencolok hanya pada simbol-simbol lahiriyah, seperti aksesoris hakim, setting ruang pengadilan, beberapa istilah hukum dan bahasa pengantar selama persidangan digelar.
Pentingnya memahami perbedaan makna demokrasi ala Indonesia (demokrasi pancasila, bukan demokrasi saja) adalah kunci utama mewujudkan persatuan dan perdamaian di bumi nusantara, bahkan perintah Allah swt. kepada kita untuk menjalankan amanat suci ayat al Qur`an akan menuai kritik sosial jika kita bersikukuh hanya dengan alasan demokrasi, Negara Indonesia dengan multi kulturalnya, tidak cukup bila hanya berpilar trias politika, harus ada pengamalan nilai pancasila sebagai penyempurna konsep demokrasi, itulah upaya konkrit demokratisasi Indonesia, jika demikian kenyataannya, maka sudah selayaknya bagi kita untuk memberi jalan lapang dan peluang lebar bagi setiap orang untuk memilih jalan hidupnya, sebagai konsekwensi demokrasi, demokrasi mengakui perbedaan, demokrasi menghargai hak pribadi, bahkan demokrasi menjamin gerakan oposisi "kullun ya`malu ala syakilatih, farabbukum a`lamu biman huwa ahda sabila", kita hanya bisa berharap sepenuh hati, dengan adanya perbedaan itu, kiranya kita dapat mengambil ibrah, betapa pentingnya merajut persatuan dan kesatuan.
Hanya saja, proses menuju persatuan sejati dikalangan kita masih kurang mendapat respon baik, sehingga masih terjadi benturan-benturan kecil, riak-riak perpecahan berlatar kelas social, tajir-fakir, senior-junior, lama-baru, tua-muda, dan gap lain berbau feodalistik, padahal semua itu bukan kebutuhan hidup, karena tanpa harus dibeda-bedakan sekalipun, sudah beda sendiri, seandainya kita patuh teori alam dan mengikuti petunjuk agama, "Laisa minna man lam yarham shaghirana, walam yuwaqqir kabirana", hadits itu sudah cukup menjadi justifkasi untuk saling menghormati, tetapi karena kealpaan sebagian kita, maka kenyataan pahitlah yang terjadi, siapakah yang salah, kita yang tidak dibimbing untuk menjadi baik, atauhkah mereka yang tidak memberi uswaha kebaikan, wallahu `a`lam. Tetapi pesan tersembunyi yang dapat dipahami dari opini berjudul "Tanda Demokrasi Masih Muda" itu sangat tampak sekali arah dan missi kritiknya untuk mengawal perdebatan seputar wacana, demokrasi tak beradab atau kalau istilah saya, demokrasi apancasilais, karena mereka hanya berpedoman demokrasi tanpa mengindahkan nilai pancasila, yang satu diantaranya berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" itulah yang menurut hemat saya latar belakang munculnya judul opini "Tanda Demokrasi Masih Muda", hal itu diperkuat dengan banyaknya wadah-wadah organisasi daerah yang melatarbelakangi persatuan untuk mengejawantahkan tujuan-tujuan utama, namun gagal dalam memainkan menegemen kelompoknya, bahkan tidak sedikit rongrongan kepentingan bersifat subyektif hadir di antara kita, kadang kurang mengakomodir kepentingan bersama, sifat acuh tak acuh masih sering terjadi, dan sifat-sifat negatif berpretensi bumerang dalam wadah kesatuan itu, kian hari tampak menjejali ruang keceriaan dan keharmonisan kita yang sudah sekian lama bersama dalam satu wadah kesatuan tertentu. Saatnya kita memulai membangun kembali jembatan komunikasi yang sempat putus karena kurangnya intensitas silaturrahim, kita perlu saling memahami kebutuhan masing-masing mitra sejawat, mengerti situasi, memantapkan jalinan persahabatan, sebisa mungkin memposisikan orang lain sebagai kawan bukan lawan.
Gunakan kemampuan komunikasi kita dengan membangun kesepahaman bersama melalui jalinan pertemanan -meminjam trend bahasa facebook- atau dengan serangkaian upaya mengeksplorasi diri melalui jejaring social maya maupun nyata yang kini marak dilakukan mayoritas masyarakat dunia dalam rangka menemukan kualitas jati dirinya, dan lain sebagainya. Terkait pro kontra wacana hukum atau dampak plus minus jejaring maya yang berkualitas, berefek sahih atau batil bagi pengguna piranti social tersebut secara pribadi, atau masyarakat sekitar bahkan bagi perkembangan khalayak dunia sekalipun, saya sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam menyikapi hal itu, bukan berarti tidak hirau dengan kenyataan yang sempat menggemparkan jagat dunia maya kita (mahasiswa universitas al Ahgaff) yang sempat menyita perhatian saya, bahkan mungkin sebagian mahasiswa angkatan 2008-2009, ketika ada komentar miring yang didindingkan di facebok sahabat Ariya Muhammad, yang kemudian oleh penulis opini diklaim sebagai tindakan menghakimi komunitas tertentu, (baca: Tanda Demokrasi Masih Muda, www.aqwammedia.blogspot.com, edisi I / Oktober 2009).
Sebagai jurnalis, saya hanya bisa mengamati dengan seksama, memperhatikan dan sesekali melakukan kroscek kebenaran informasi yang bereda disekitar kita waktu itu, untuk menjajaki tingkat akurasinya, setelah berbagai tahapan teori penelitian ringan yang saya ketahui, dalam rangka sinkronisasi validitas data melalui "triangulasi taktik" dengan melihat bukti dasar, subyek, obyek, penyeimbang opini, pewarta, informan dan supporter comment, akhirnya saya dapat menemukan titik simpul: Bahawa tindakan kebaikan tidak cukup kuat sebagai alasan membenarkan statemen apapun, oleh siapapun, di manapun, yang kurang tepat sasar (ghaira muqtadlal hal wal maqal wal maqam), mengingat masih banyak juga komunitas mahasiswa selain angkatan 2008-2009 yang juga berprilaku kurang layak, saya tidak membela komunitas tertentu, tetapi inilah fakta dari hasil pengamatan di lapangan, bahkan jauh hari sebelum komunitas mahasiswa angkatan 2008-2009 resmi menjadi mahasiswa, tindakan kurang layak itu sudah menjadi obyek sensor pihak kuliyah, sehingga komentar minor (tidak punya adab) yang bersifat umum itu menjadi polemic dikalangan kita. Saya pribadi kurang sependapat dengan pilihan kata, "tidak punya adab", karena lafadz tersebut bias makna atau ambigu, boleh saja seseorang berkilah yang dimaksud tidak punya adab itu, adalah tidak belajar ilmu adab wan nushus (materi tamhidi al Ahgaff dalam kelompok ilmu tata bahasa), walaupun alasan itu tampak dipaksakan untuk memalingkan opini public, tetapi kemungkinan makna lain (tak berakhlak mulia) yang menjadi perdebatan, karena hal itu bersifat privasi dan sangat sensitiv sekali, ada pula yang mengatakan bahwa secara defakto sudah tidak ada mustawa awwal, yang ada sudah mustawa dua, tapi sayangnya, pernyataan itu tidak bisa dibenarkan, karena sebagian dari mereka masih belum dipastikan naik tingkat (istinhaj atau takmili).
Wal Hasil, apapun interpretasi yang diarahkan membalik tujuan komentar minor ketika itu sulit diterima dan dibenarkan, banyak dari mereka yang langsung emosi, bahkan sesudah klarifikasi tentang polemic itu dilakukan, masih ada yang kurang puas, karena privasi dan harga dirinya merasa terlangkahi, privasi atau al-irdl itulah, yang menjadi bukti kuat ketidak puasan sebagian mereka, sehingga polemic yang sudah dianggap selesai, masih dimunculkan kembali dengan menyandingkan prilaku kurang etis (mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum forum mahasiswa Indonesia al Ahgaff masa khidmat 2009-2010 dalam Musyawarah Anggota Komplit (MAK FORMIL) 18 Agustus 2009 lalu yang dilakukan sahabat Badrut Tamam, dengan berteriak lantang, setelah melihat Zuhairuz Zaman membacakan surat pengunduran diri, bahkan Rifqi Tamimi ikut menyatakan tidak siap), situasi kurang mencerminkan sikap dewasa itulah yang kemudian dijadikan alasan lain menyebut demokrasi masih muda. Sesungguhnya demokrasi tak mengenal umur, kasus kericuhan di gedung DPR-RI, dengan mendatangi pimpinan sidang secara bergerombol sempat terjadi dan itu sangat mencidrai nilai demokrasi pancasila kita, patut kalau mantan presiden RI, Gus Dur, menyebut mereka layaknya taman kanak-kanak, jika anggota dewan perwakilan rakyat RI, masih alpa berprilaku kurang etis secara politis, tidak layakkah bila kekurang etisan dalam berdemokrasi itu terjadi pada kita selaku anak bangsa yang memang benar-benar masih muda secara umur atau memang sedang dalam proses pematangan jati diri dalam berorganisasi?!. Bagi saya, hal-hal seperti itu boleh-boleh saja dalam berdemokrasi, tapi alangkah eloknya, jika bisa ditempuh dengan cara bijaksana dalam permusyawaratan dan perwakilan..
Seandainya kebebasan hak sebagaimana alasan sahabat Zuhairuz Zaman yang dibacakan dan disampaikan secara musyawarah, waktu itu dilakukan oleh sahabat Badrut Tamam, mungkin tidak akan pernah ada opini yang membandingkan pelaku utama organisasi dengan kelaikan prilaku, adab sebagian komunitas tertentu yang dijadikan pengantar wacana menolak arogansi penilaian bagi komunitas lain yang merasa dirugikan secara mental. Polemic ini, perlu diakhiri, saya sangat yakin, ada hidden mission control yang diselipkan di balik laras teks opini berjudul" Tanda Demokrasi Masih Muda" itu, dalam substansi tulisannya, Amir Faqih menyatakan ketidak tahuannya, apakah ada relasi antara demokrasi dan adab, yang jelas pemandangan yang terjadi dalam pesta demokrasi yang dihelat pada MAK-FORMIL itu dinilai sebagai pemandangan kurang apik, kurang menampakkan prilaku layak, dan mungkin saja penulis opini tersebut menyisipkan pesan tak beradab bila ditilik dari proses demokrasi pancasila. "Kenapa tidak mundur sejak awal, sebelum pemilihan", tulisnya bernada kesal, sambil mengutip ungkapan khas Habib Riziq, ketua front pembela islam, yang ia katakan meminjam sedikit kata, "Hapus Saja" AD/Art. FORMIL bila tidak dapat dilaksanakan, kilahnya.
Inilah bukti impiris yang tak terbantahkan, bahwa noktah hitam itu kini telah berbekas di hati mereka, ada belang yang menghalangi ketulusan pertemanan kita, kenapa mereka tidak dengan bermusawarah dan duduk bersama sebagaimana tindakan akhir yang diambil saudara Ariya setelah mempertimbangkan kemashlahatan bersama sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, sehingga upaya mewujudkan keharmonisan antara kita di satu tempat dapat terlaksana tanpa ada curiga di antara kita, kenapa tidak dengan bahasa yang lebih rasionalis, elastis, populis dan argumentative, kenapa, kenapa?. Sederet pertanyaan itu diajukan hampir mayoritas mahasiswa angkatan 2008-2009, melalui pesan singkat pada saya ketika mendenganr "teror kecil" seputar privasi komunitasnya yang disinyalir tidak beradab itu.
Semua sudah terjadi, biarlah yang lalu berlalu, jangan diulang kembali, kita sudah saling memahami, mema`afkan dan saling mengerti maksud dan tujuannya, "niat saya baik kok, itu saya lakukan demi kebaikan kita bersama, walaupun saya mengakui, saya salah, karena hal itu disampaikan secara umum, hanya kurang tepat cara penyampaiannya saja, sudah selesai, sudah tidak ada apa-apa" demikian pernyataan sahabat Aria Muhammad dalam kesempatan bincang ringan bersama saya. Dan sebagai ibrah bagi kita, saya perlu menegaskan kembali, bahwa niat baik untuk tujuan kebaikan, harus disampaikan dengan baik pula, sebagai manusia biasa, saya, sahabat saya Ariya Muhammad, Zuhairuz Zaman, Badrut Tamam, Rifqi Tamimi, Amir Faqih, dan semua sahabat mahasiswa Indonesia di universitas al Ahgaff khususnya, dan di Yaman pada umumnya, kita semua sangat memaklumi kealpaan masing-masing, "Al insanu mahallul khatha`I wan nisyan", marilah kita saling mengingatkan dengan niat tulus, kita bangun kembali kesepahaman baru, yang benar-benar baru, hapuskan noktah hitam itu, mari bergandeng tangan, kuatkan persatuan dan kesatuan, berdamailah "fasfahis shafhal jamil".
Upaya mengungkap kejadian lampau itu, hanyalah sebuah usaha saling mengingatkan kembali antara kita, bahwa kita saling mengawasi, menasihati, memperhatikan, sehingga kecil peluang bagi kita untuk lalai diri, apalagi bagi komunitas tertentu yang telah banyak mendemonstrasikan pentingnya menjunjung nilai akhlak mulia, adab, sopan santun dan bahasa akhlaq terpuji lainnya, kita harus dengan tegas dan nyata melakukannya, bukan hanya koar-koar lewat komentar saja, sudah terlalu jamak orang pintar komentar, kita tidak butuh orasi, tapi solusi, butuh bukti, praktik teori, keteladanan budi pekerti, uswah hasanah dari pelaku dan pemeran utama organisasi yang mengerti diri, "Latanha an khuluqin wata`tiya mitslahu, `Arun alaika idza fa`alta adzimu", "Aamartukal khaira lakin ma`tamartu bihi, Wamastaqamtu fama qauli lakas taqimi, Astaghfirullaha min qaulin bila `amalin, Laqad nasabtu bihi naslan lidzi uqumi,". Setelah belajar dari kasus-perkasus, kita perlu mengoreksi diri, melihat diri, memperhatikan diri, lalu sebagai bentuk kedewasaan, kitapun harus siap menerima koreksi dari pihak lain, kita berhak menyampaikan, tapi kita wajib menerima, "Ra`yuna shawabun yahtamilul khata`, Wara`yu ghairina khata`un yahtamilush shawab". Sampaikan koreksi dalam bentuk hikmah, mauidloh hasanah, atau jika perlu berpolemik, paparkan dengan gamblang, kemas dalam bahasa santun penuh nilai persahabatan, hindari komentar sinis, jauhi mencaci sesama, jauhi sifat dengki, jangan menyebut kelompok tertentu dengan sebutan kurang etis di hadapan umum, itulah kiranya kode etik publikasi massa yang harus diperhatikan pengguna media, jejaring social ataupun koniksi mitra, bijaksanalah dalam menyikapi situasi, setidaknya kita bisa meminimalisir kerentanan yang muncul sebab bias bahasa kurang berkenan di hati pembaca, jadikan media maya sebagai alat berefek manfa`at ganda untuk berdakwah bagi diri dan orang lain, sirami kegersangan jiwa diri, sambil lalu meneteskan air suci perdamaian untuk semua kalangan. wujudkan persatuan dan pertemanan maya anda dalam prilaku yang sesungguhnya, di dunia nyata. "Ata`murunannasa bil birri watausauna anfusakum, wa antum tatlunal kitab, afala ta`qilun"?!. wallohu a'lam
oleh : khotibul umam